Hari akhirat, hari setelah
kematian yang wajib diyakini kebenarannya oleh setiap orang yang beriman kepada
Allah ta’ala dan kebenaran agama-Nya. Hari itulah hari pembalasan
semua amal perbuatan manusia, hari perhitungan yang sempurna, hari
ditampakkannya semua perbuatan yang tersembunyi sewaktu di dunia, hari yang
pada waktu itu orang-orang yang melampaui batas akan berkata dengan penuh
penyesalan.
يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Duhai, alangkah baiknya
kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” (Qs. Al
Fajr: 24)
Maka seharusnya setiap muslim
yang mementingkan keselamatan dirinya benar-benar memberikan perhatian besar
dalam mempersiapkan diri dan mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang
kekal abadi ini. Karena pada hakikatnya, hari inilah masa depan dan hari esok
manusia yang sesungguhnya, yang kedatangan hari tersebut sangat cepat seiring
dengan cepat berlalunya usia manusia.
Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa
yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al
Hasyr: 18)
Dalam menafsirkan ayat di atas
Imam Qotadah berkata: “Senantiasa tuhanmu (Allah) mendekatkan (waktu
terjadinya) hari kiamat, sampai-sampai Dia menjadikannya seperti besok.”
(Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfan (hal.
152 – Mawaaridul Amaan).
Beliau (Abu Qatadah) adalah
Qotadah bin Di’aamah As Saduusi Al Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam
besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat kitab Taqriibut
Tahdziib, hal. 409)
Semoga Allah ta’ala
meridhai sahabat yang mulia Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang
mengingatkan hal ini dalam ucapannya yang terkenal: “Hisab-lah
(introspeksilah) dirimu (saat ini) sebelum kamu di-hisab
(diperiksa/dihitung amal perbuatanmu pada hari kiamat), dan timbanglah dirimu
(saat ini) sebelum (amal perbuatan)mu ditimbang (pada hari kiamat), karena
sesungguhnya akan mudah bagimu (menghadapi) hisab besok (hari kiamat)
jika kamu (selalu) mengintrospeksi dirimu saat ini, dan hiasilah dirimu (dengan
amal shaleh) untuk menghadapi (hari) yang besar (ketika manusia) dihadapkan
(kepada Allah ta’ala):
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
“Pada hari itu kamu
dihadapkan (kepada Allah), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi
(bagi-Nya).” (Qs. Al Haaqqah: 18). (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
kitab beliau Az Zuhd (hal. 120), dengan sanad yang hasan)
Senada dengan ucapan di atas
sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Sesungguhnya dunia telah pergi meninggalkan (kita) sedangkan akhirat telah
datang di hadapan (kita), dan masing-masing dari keduanya (dunia dan akhirat)
memiliki pengagum, maka jadilah kamu orang yang mengagumi/mencintai akhirat dan
janganlah kamu menjadi orang yang mengagumi dunia, karena sesungguhnya saat ini
(waktunya) beramal dan tidak ada perhitungan, adapun besok (di akhirat) adalah
(saat) perhitungan dan tidak ada (waktu lagi untuk) beramal.” (Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dalam Az Zuhd (hal. 130) dan dinukil oleh Imam Ibnu
Rajab Al Hambali dalam kitab beliau Jaami’ul ‘uluumi wal hikam (hal.
461)).
Jadilah kamu di dunia
seperti orang asing…
Dunia tempat persinggahan
sementara dan sebagai ladang akhirat tempat kita mengumpulkan bekal untuk
menempuh perjalanan menuju negeri yang kekal abadi itu. Barangsiapa yang
mengumpulkan bekal yang cukup maka dengan izin Allah dia akan sampai ke tujuan
dengan selamat, dan barang siapa yang bekalnya kurang maka dikhawatirkan dia
tidak akan sampai ke tujuan.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita sikap yang benar dalam kehidupan
di dunia dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jadilah
kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.”
(HR. Al Bukhari no. 6053)
Hadits ini merupakan bimbingan
bagi orang yang beriman tentang bagaimana seharusnya dia menempatkan dirinya
dalam kehidupan di dunia. Karena orang asing (perantau) atau orang yang sedang
melakukan perjalanan adalah orang yang hanya tinggal sementara dan tidak
terikat hatinya kepada tempat persinggahannya, serta terus merindukan untuk
kembali ke kampung halamannya.
Demikianlah keadaan seorang
mukmin di dunia yang hatinya selalu terikat
dan rindu untu kembali ke kampung halamannya yang sebenarnya, yaitu surga
tempat tinggal pertama kedua orang tua kita, Adam ‘alaihis salam dan
istrinya Hawa, sebelum mereka berdua diturunkan ke dunia.
Dalam sebuah nasehat tertulis
yang disampaikan Imam Hasan Al Bashri kepada Imam Umar bin Abdul Azizi, beliau
berkata: “…Sesungguhnya dunia adalah negeri perantauan dan bukan tempat tinggal
(yang sebenarnya), dan hanyalah Adam ‘alaihis salam diturunkan ke
dunia ini untuk menerima hukuman (akibat perbuatan dosanya)…” (Dinukil oleh
Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfaan (hal. 84 – Mawaaridul
Amaan))
Dalam mengungkapkan makna ini
Ibnul Qayyim berkata dalam bait syairnya:
Marilah
(kita menuju) surga ‘adn (tempat menetap) karena sesungguhnya itulah
Tempat
tinggal kita yang pertama, yang di dalamnya terdapat kemah (yang indah)
Akan
tetapi kita (sekarang dalam) tawanan musuh (setan), maka apakah kamu melihat
Kita
akan (bisa) kembali ke kampung halaman kita dengan selamat?
(Miftaahu
Daaris Sa’aadah (1/9-10), juga dinukil oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul
‘Uluumi Wal Hikam (hal. 462))
Sikap hidup ini menjadikan
seorang mukmin tidak panjang angan-angan dan terlalu muluk dalam menjalani
kehidupan dunia, karena “barangsiapa yang hidup di dunia seperti orang asing,
maka dia tidak punya keinginan kecuali mempersiapkan bekal yang bermanfaat
baginya ketika kembali ke kampung halamannya (akhirat), sehingga dia tidak
berambisi dan berlomba bersama orang-orang yang mengejar dunia dalam kemewahan
(dunia yang mereka cari), karena keadaanya seperti seorang perantau,
sebagaimana dia tidak merasa risau dengan kemiskinan dan rendahnya kedudukannya
di kalangan mereka.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul
‘Uluumi Wal Hikam (hal. 461), dengan sedikit penyesuaian)
Makna inilah yang diisyaratkan
oleh sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhu ketika beliau berkata: “Jika kamu (berada) di waktu sore maka
janganlah tunggu datangnya waktu pagi, dan jika kamu (berada) di waktu pagi
maka janganlah tunggu datangnya waktu sore, serta gunakanlah masa sehatmu
(dengan memperbanyak amal shaleh sebelum datang) masa sakitmu, dan masa hidupmu
(sebelum) kematian (menjemputmu).” (Diriwayatkan oleh imam Al Bukhari dalam
kitab Shahihul Bukhari, no. 6053).
Bahkan inilah makna zuhud di
dunia yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hambal ketika beliau
ditanya: Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata:
“(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia
(berada) di waktu pagi dia berkata: Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai)
waktu sore lagi.” (Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul
‘Uluumi Wal Hikam (hal. 465)
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى
Berbekallah, dan sungguh
sebaik-baik bekal adalah takwa
Sebaik-baik bekal untuk
perjalanan ke akhirat adalah takwa, yang berarti “menjadikan pelindung antara
diri seorang hamba dengan siksaan dan kemurkaan Allah yang dikhawatirkan akan
menimpanya, yaitu (dengan) melakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat
kepada-Nya.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam
(hal. 196)
Maka sesuai dengan keadaan
seorang hamba di dunia dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan
perbuatan maksiat, begitu pula keadaannya di akhirat kelak. Semakin banyak dia
berbuat baik di dunia semakin banyak pula kebaikan yang akan di raihnya di
akhirat nanti, yang berarti semakin besar pula peluangnya untuk meraih
keselamatan dalam perjalanannya menuju surga.
Inilah diantara makna yang
diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda
beliau: “Setiap orang akan dibangkitkan (pada hari kiamat) sesuai dengan
(keadaannya) sewaktu dia meninggal dunia.” (HR. Muslim, no. 2878).
Artinya: Dia akan mendapatkan
balasan pada hari kebangkitan kelak sesuai dengan amal baik atau buruk yang
dilakukannya sewaktu di dunia. (Lihat penjelasan Al Munaawi dalam kitab beliau Faidhul
Qadiir (6/457))
Landasan utama takwa adalah dua
kalimat syahadat: Laa ilaaha illallah dan Muhammadur
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, sebaik-baik
bekal yang perlu dipersiapkan untuk selamat dalam perjalanan besar ini adalah
memurnikan tauhid (mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah dan
menjauhi perbuatan syirik) yang merupakan inti makna syahadat Laa ilaaha
illallah dan menyempurnakan al ittibaa’ (mengikuti sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perbuatan
bid’ah) yang merupakan inti makna syahadat Muhammadur Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka dari itu, semua peristiwa
besar yang akan dialami manusia pada hari kiamat nanti, Allah akan mudahkan
bagi mereka dalam menghadapinya sesuai dengan pemahaman dan pengamalan mereka
terhadap dua landasan utama Islam ini sewaktu di dunia.
Fitnah (ujian keimanan) dalam
kubur yang merupakan peristiwa besar pertama yang akan dialami manusia setelah
kematiannya, mereka akan ditanya oleh dua malaikat: Munkar dan Nakir
(Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat At Tirmidzi (no. 1083) dan dinyatakan
shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahiihah, no. 1391) dengan tiga
pertanyaan: Siapa Tuhanmu?, apa agamamu? dan siapa nabimu? (Sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits shahih riwayat Ahmad (4/287-288), Abu Dawud, no. 4753
dan Al Hakim (1/37-39), dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz
Dzahabi.).
Allah hanya menjanjikan
kemudahan dan keteguhan iman ketika mengahadapi ujian besar ini bagi
orang-orang yang memahami dan mengamalkan dua landasan Islam ini dengan benar,
sehingga mereka akan menjawab: Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan
Nabiku adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ta’ala berfirman:
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ
الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ
الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman)
orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia
dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa
yang Dia kehendaki.” (Qs. Ibrahim: 27)
Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam
ayat di atas ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Al
Bara’ bin ‘Aazib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang muslim ketika ditanya di dalam kubur
(oleh Malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada
sembahan yang benar kecuali Allah (Laa Ilaaha Illallah) dan bahwa
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah (Muhammadur
Rasulullah), itulah (makna) firman-Nya: Allah meneguhkan (iman)
orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia
dan di akhirat.” (HR.Al Bukhari (no. 4422), hadits yang semakna juga
diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 2871)
Termasuk peristiwa besar pada
hari kiamat, mendatangi telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang penuh kemuliaan, warna airnya lebih putih daripada susu, rasanya lebih
manis daripada madu, dan baunya lebih harum daripada minyak wangi misk
(kesturi), barangsiapa yang meminum darinya sekali saja maka dia tidak akan
kehausan selamanya (Semua ini disebutkan dalam hadits yang shahih riwayat imam
Al Bukhari (no. 6208) dan Muslim (no. 2292).
Semoga Allah menjadikan kita
semua termasuk orang-orang yang dimudahkan minum darinya). Dalam hadits yang
shahih (Riwayat Imam Al Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu) juga disebutkan bahwa ada orang-orang yang
dihalangi dan diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ini.
Karena mereka sewaktu di dunia
berpaling dari petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada pemahaman dan perbuatan bid’ah, sehingga di akhirat mereka dihalangi
dari kemuliaan meminum air telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagai balasan yang sesuai dengan perbuatan mereka.
Imam Ibnu Abdil Barr berkata:
“Semua orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridhai Allah dalam
agama ini akan diusir dari telaga Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam
(pada hari kiamat nanti), dan yang paling parah di antara mereka adalah
orang-orang (ahlul bid’ah) yang menyelisihi (pemahaman) jama’ah kaum muslimin,
seperti orang-orang khawarij, Syi’ah Rafidhah dan para
pengikut hawa nafsu, demikian pula orang-orang yang berbuat zhalim yang
melampaui batas dalam kezhaliman dan menentang kebenaran, serta orang-orang
yang melakukan dosa-dosa besar secara terang-terangan, semua mereka ini
dikhawatirkan termasuk orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini (yang
diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). (Kitab Syarh
Az Zarqaani ‘Ala Muwaththa-il Imaami Maalik, 1/65)
Beliau (Ibnu Abdil Barr) adalah
Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barr An Namari Al Andalusi (wafat 463
H), syaikhul Islam dan imam besar ahlus Sunnah dari wilayah Magrib, penulis
banyak kitab hadits dan fikih yang sangat bermanfaat. Biografi beliau dalam
kitab Tadzkiratul Huffaazh (3/1128).
Demikian pula termasuk peristiwa
besar pada hari kiamat, melintasi ash shiraath (jembatan) yang
dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam, di antara surga dan neraka.
Dalam hadits yang shahih (Riwayat imam Al Bukhari (no. 7001) dan Muslim (no.
183) dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu) disebutkan bahwa
keadaan orang yang melintasi jembatan tersebut bermacam-macam sesuai dengan
amal perbuatan mereka sewaktu di dunia.
“Ada yang melintasinya secepat
kerdipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat
kuda pacuan yang kencang, ada yang secepat menunggang onta, ada yang berlari,
ada yang berjalan, ada yang merangkak, dan ada yang disambar dengan pengait
besi kemudian dilemparkan ke dalam neraka Jahannam” – na’uudzu billahi min
daalik – (Ucapan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al
Aqiidah al Waasithiyyah, hal. 20) .
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al
‘Utsaimin ketika menjelaskan sebab perbedaan keadaan orang-orang yang melintasi
jembatan tersebut, beliau berkata: “Ini semua (tentu saja) bukan dengan pilihan
masing-masing orang, karena kalau dengan pilihan (sendiri) tentu semua orang
ingin melintasinya dengan cepat, akan tetapi (keadaan manusia sewaktu)
melintasi (jembatan tersebut) adalah sesuai dengan cepat (atau lambatnya
mereka) dalam menerima (dan mengamalkan) syariat Islam di dunia ini;
Barangsiapa yang bersegera dalam
menerima (petunjuk dan sunnah) yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka diapun akan cepat melintasi jembatan tersebut, dan
(sebaliknya) barangsiapa yang lambat dalam hal ini, maka diapun akan lambat
melintasinya; sebagai balasan yang setimpal, dan balasan (perbuatan manusia)
adalah sesuai dengan jenis perbuatannya.” (Kitab Syarhul Aqiidatil
Waasithiyyah, 2/162)
وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
Balasan
akhir yang baik (yaitu Surga) bagi orang-orang yang bertakwa
Akhirnya, perjalanan manusia
akan sampai pada tahapan akhir; surga yang penuh kenikmatan, atau neraka yang
penuh dengan siksaan yang pedih. Di sinilah Allah ta’ala akan
memberikan balasan yang sempurna bagi manusia sesuai dengan amal perbuatan
mereka di dunia.
Allah ta’ala berfirman:
فَأَمَّا مَنْ
طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى،
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ
الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Adapun orang-orang yang
melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya
nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya
surgalah tempat tinggal(nya)” (Qs. An Naazi’aat: 37-41).
Maka balasan akhir yang baik
hanyalah Allah peruntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan membekali dirinya
dengan ketaatan kepada-Nya, serta menjauhi perbuatan yang menyimpang dari
agama-Nya. Allah ta’ala berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا
يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami
jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat
kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga)
adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Qashash: 83)
Syaikh Abdurrahman As Sa’di
berkata: “…Jika mereka (orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini) tidak
mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di
(muka) bumi, maka konsekwensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju
kepada Allah, tujuan mereka (hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat,
dan keadan mereka (sewaktu di dunia): selalu merendahkan diri kepada
hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal
shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir
yang baik (surga dari Allah ta’ala).” (Taisiirul Kariimir Rahmaan
fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan, hal. 453)
Penutup
Setelah kita merenungi
tahapan-tahapan perjalanan besar ini, marilah kita bertanya kepada diri kita
sendiri: sudahkah kita mempersiapkan bekal yang cukup supaya selamat dalam
perjalanan tersebut? Kalau jawabannya: belum, maka jangan
putus asa, masih ada waktu untuk berbenah diri dan memperbaiki segala
kekurangan kita -dengan izin Allah ta’ala- .
Caranya, bersegeralah untuk
kembali dan bertobat kepada Allah, serta memperbanyak amal shaleh pada sisa
umur kita yang masih ada. Dan semua itu akan mudah bagi orang yang Allah
berikan taufik dan kemudahan baginya.
Imam Fudhail bin ‘Iyaadh pernah
menasehati seseorang lelaki, beliau berkata: “Berapa tahun usiamu (sekarang)”?
Lelaki itu menjawab: Enam puluh tahun. Fudhail berkata:
“(Berarti) sejak enam puluh tahun (yang lalu) kamu menempuh
perjalanan menuju Allah dan (mungkin saja) kamu hampir sampai”. Lelaki itu
menjawab: Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Maka Fudhail berkata: “Apakah
kamu paham arti ucapanmu? Kamu berkata: Aku (hamba) milik Allah dan akan
kembali kepada-Nya, barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik
Allah dan akan kembali kepada-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan
berdiri (di hadapan-Nya pada hari kiamat nanti), dan barangsiapa yang
mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya) maka hendaknya dia
mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya selama
di dunia),
Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa
dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya) maka hendaknya dia
mempersiapkan jawabannya.” Maka lelaki itu bertanya: (Kalau demikian) bagaimana
caranya (untuk menyelamatkan diri ketika itu)?
Fudhail menjawab: “(Caranya) mudah.” Leleki itu
bertanya lagi: Apa itu? Fudhail berkata: “Engkau memperbaiki (diri) pada sisa
umurmu (yang masih ada), maka Allah akan mengampuni (perbuatan dosamu) di masa
lalu, karena jika kamu (tetap) berbuat buruk pada sisa umurmu (yang masih ada),
kamu akan di siksa (pada hari kiamat) karena (perbuatan dosamu) di masa lalu
dan pada sisa umurmu.” (Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul
‘Uluumi Wal Hikam, hal. 464)
Beliau (Fudhail bin ‘Iyaadh)
adalah Fudhail bin ‘Iyaadh bin Mas’uud At Tamimi (wafat 187 H), seorang imam
besar dari dari kalangan atba’ut tabi’in yang sangat terpercaya dalam
meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
seorang ahli ibadah (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 403)
Akhirnya, kami menutup tulisan
ini dengan doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam
HR. Muslim, no. 2720) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
untuk kebaikan agama, dunia dan akhirat kita:
Ya Allah, perbaikilah
agamaku yang merupakan penentu (kebaikan) semua urusanku, dan perbaikilah
(urusan) duniaku yang merupakan tempat hidupku, serta perbaikilah akhiratku
yang merupakan tempat kembaliku (selamanya), jadikanlah (masa) hidupku sebagai
penambah kebaikan bagiku, dan (jadikanlah) kematianku sebagai penghalang bagiku
dari semua keburukan.
وَصَلَّى اللهُ
وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ،
وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
0 comments:
Posting Komentar