Mereka Yang Tertipu Dengan Dunia
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Ketahuilah oleh
kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta
berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
karenanya tumbuh tanaman-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi
hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu.” (Al-Hadid: 20)
Bacalah berulang kalam dari Rabb yang mulia di atas berikut
maknanya… Setelahnya, apa yang kamu pahami dari kehidupan dunia? Masihkah dunia
membuaimu? Masihkah angan-anganmu melambung tuk meraih gemerlapnya? Masihkah
engkau tertipu dengan kesenangannya?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu dalam
Tafsir-nya, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hakikat dunia dan
apa yang ada di atasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan akhir kesudahannya
dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan.
Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan
terjadi pada anak-anak dunia [1]. Engkau dapati mereka menghabiskan
waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan
melengahkan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun janji (pahala
dan surga) dan ancaman (adzab dan neraka) yang ada di hadapan, engkau lihat
mereka(orang2 yang cinta dunia) telah menjadikan agama mereka sebagai
permainan dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan
orang-orang yang beramal untuk akhirat, hati mereka penuh disemarakkan dengan
dzikrullah(LAA ILAAHA ILLALLAAH), mengenali dan mencintai-Nya. Mereka
sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri
mereka kepada Allah daripada membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit
(dunia).”
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu
melanjutkan, “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan permisalan bagi
dunia dengan hujan yang turun di atas bumi, yang menyuburkan tumbuh-tumbuhan yang ditanam dan dimakan oleh
manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahan
(kesuburannya) itu, dan para penanamnya, yang cita-cita dan pandangan mereka
hanya sebatas dunia, mereka menjadi terkagum-kagum karena kesuburan tanamannya
itu.
Datanglah perintah Allah SWT sehingga akhirnya tanaman itu
layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada keadaannya semula,
seakan-akan belum pernah ada tumbuh-tumbuhan yang hijau di atasnya. Demikianlah
dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa saja yang ia inginkan
dari tuntutan dunia dapat ia peroleh.
Apa saja perkara dunia yang ia tuju, ia dapatkan
pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya berupa
hilangnya dunianya(harta) dari tangannya. Hilanglah kekuasaannya… Jadilah ia
meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang dibawanya kecuali
kain kafan….” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 841)
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma bercerita, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati pasar sementara orang-orang ada di
sekitar Beliau. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil dan
terputus telinga kambing tersebut (cacat). Beliau memegang telinga bangkai
tersebut seraya berkata:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ
بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟
قَالَ: أَتُحِبُّوْنَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا: وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ
عَيْبًا فِيْهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: فَوَاللهِ
لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
“Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini
dan mau membayar seharga satu dirham?”
Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga
semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Apakah
kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?”
“Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup,
tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apa lagi ia telah menjadi
seonggok bangkai,” jawab mereka.
Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah, sungguh dunia
ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.”
(HR. Muslim no.7344)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda:
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ
بَعُوْضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya
menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum
kepada orang kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320,
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 686)
Tatkala orang-orang yang utama, mulia lagi berakal mengetahui
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan dunia, mereka pun enggan
untuk tenggelam dalam kesenangannya. Apa lagi mereka mengetahui bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia penuh kezuhudan dan memperingatkan
para shahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia sekedarnya dan
mengeluarkannya di jalan Allah SWT sebanyak-banyaknya. Mereka ambil sekedar
yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang melalaikan.
Rasulullah SAW pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang pundak iparnya ini:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ
سَبِيْلٍ
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416)
Abdullah bin Umar ra. pun memegang teguh wasiat Nabinya baik
dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau berkata setelah
menyampaikan hadits Rasul SAW di atas, “Bila engkau berada di sore hari maka
janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi
hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal shaleh)
sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum
kematian menjemputmu.”
Adapun dalam perbuatan, beliau(Abdullah bin Umar ra) merupakan
shahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup
walau dengan yang sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia
adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.” (Siyar A’lamin Nubala`, hal.
3/211)
Ibnu Baththal rahimahullahu menjelaskan berkenaan dengan
hadits Ibnu Umar ra. di atas, “Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk
mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil perbekalan
secukupnya. Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari apa yang
dapat mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin di dunia
ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke tempat
akhirnya.” (Fathul Bari, 11/282)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata dan memberikan
penjelasan terhadap hadits ini, “Janganlah engkau condong kepada dunia. Jangan
engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap), dan jangan pula pernah
terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada
dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang asing pada selain tanah airnya, di
mana ia ingin segera meninggalkan negeri asing tersebut guna kembali kepada
keluarganya.” (Syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah
An-Nabawiyyah, hal. 105)
Suatu ketika Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu melihat Rasulullah
SAW tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut
meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para shahabat yang menyaksikan
hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang
empuk!”
Beliau menjawab:
مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ
كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)
Umar ibnul Khaththab ra. pernah menangis melihat kesahajaan
Rasulullah SAW sampai beliau hanya tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi
apapun. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:
فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْحَصِيْرِ فِي
جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيْكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ،
إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيْمَا هُمَا فِيْهِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. فَقَالَ:
أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا اْلآخِرَةُ؟
“Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk Beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia) dan Kaisar (raja Romawi) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah [2].”
Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan
dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan
Muslim no. 3676)
Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu
‘anhu berkata kepada Nabi SAW:
ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى
أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّوْمَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا
وَهُمْ لاَ يَعْبُدُوْنَ اللهَ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ
يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah
engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang
yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki) mereka di dalam kehidupan
dunia?” [3] (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679).
Demikianlah nilai dunia, wahai saudariku. Dan tergambar bagi
kita bagaimana orang-orang yang bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia
mereka. Mereka enggan untuk tenggelam di dalamnya, karena dunia hanyalah tempat
penyeberangan… Di ujung sana menanti negeri keabadian(akherat) yang
keutamaannya tiada terbandingi dengan dunia.
Al-Mustaurid bin Syaddad ra. berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ
أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
“Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” (HR. Muslim no. 7126)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Makna hadits di
atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan
dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain
kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang
masih tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)
Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila
dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain
orang yang pandir, karena dunia takkan dapat menipu orang yang cerdas dan
berakal. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[1] Mereka yang tertipu dengan dunia.
[2] Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim
(no. 3675) disebutkan ucapan Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu:
فَابْتَدَرَتْ عَيْنَايَ. قَالَ: مَا
يُبْكِيْكَ، يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ وَمَا لِي لاَ
أَبْكِي وَهَذَا الْحَصِيْرُ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِكَ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ لاَ
أَرَى فِيْهَا إِلاَّ مَا أَرَى، وَذَاكَ قَيْصَرُ وَكِسْرَى فِي الثِّمَارِ
وَاْلأَنْهَارِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ وَصَفْوَتُهُ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ
“Maka bercucuranlah air mataku.”(Umar ibnul Khaththab ra)
Melihat hal itu Beliau SAW bertanya, “Apa yang membuatmu
menangis, wahai putra Al-Khaththab?”
Aku menjawab, “Wahai Nabiyullah, bagaimana aku tidak menangis,
aku menyaksikan tikar ini membekas pada rusukmu. Aku melihat lemarimu tidak ada
isinya kecuali sekedar yang aku lihat. Sementara Kaisar dan Kisra dalam
limpahan kemewahan dengan buah-buahan dan sungai-sungai yang mengalir. Padahal Engkau
(jauh lebih mulia daripada mereka), Engkau adalah utusan Allah dan manusia
pilihan-Nya, tapi keadaan lemarimu hanya seperti ini (tiada isinya/sedikit).”
[3] Adapun di akhirat kelak, mereka(Kaum kafir) tidak mendapatkan
apa-apa. Allah SWT berfirman:
“Dan ingatlah
hari ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka, kepada mereka dikatakan,
‘Kalian telah menghabiskan kesenangan hidup (rezeki yang baik-baik) kalian
dalam kehidupan duniawi saja dan kalian telah bersenang-senang dengannya. Maka
pada hari ini kalian dibalas dengan adzab yang menghinakan karena kalian telah
menyombongkan diri di muka bumi tanpa haq dan karena kalian berbuat
kefasikan’.” (Al-Ahqaf: 20)
0 comments:
Posting Komentar