Saudaraku sesama muslim…
Marilah sejenak kita melakukan kilas balik terhadap
berbagai peristiwa di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Kita berharap
mudah-mudahan dengan mempelajari dan mengamati peristiwa ini, kita bisa
mendapatkan banyak hikmah dan pelajaran berharga bagi kehidupan kita
sehari-hari.
Dua tahun setelah Nabi kita tercinta Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam berhijrah ke madinah, bertepatan dengan bulan Ramadhan
yang mulia ini, terjadilah satu peristiwa besar namun sering dilupakan kaum
muslimin. Peristiwa tersebut adalah perang Badar.
Disebut sebagai peristiwa besar, karena perang Badar
merupakan awal perhelatan senjata dalam kapasitas besar yang dilakukan antara
pembela Islam dan musuh Islam. Saking hebatnya peristiwa ini, Allah namakan
hari teradinya peristiwa tersebut dengan Yaum Al Furqan (hari pembeda)
karena pada waktu itu, Allah, Dzat yang menurunkan syariat Islam, hendak
membedakan antara yang haq dengan yang batil.
Di saat itulah Allah mengangkat derajat kebenaran dengan
jumlah kekuatan yang terbatas dan merendahkan kebatilan meskipun jumlah
kekuatannya 3 kali lipat. Allah menurunkan pertolongan yang besar bagi kaum
muslimin dan memenangkan mereka di atas musuh-musuh Islam.
Sungguh sangat disayangkan, banyak di antara kaum muslimin
di masa kita melalaikan kejadian bersejarah ini. Padahal, dengan membaca
peristiwa ini, kita dapat mengingat sejarah para shahabat yang mati-matian
memperjuangkan Islam, yang dengan itu, kita bisa merasakan indahnya agama ini.
Sebelum melanjutkan tulisan, kami mengingatkan bawa tujuan
tulisan bukanlah mengajak anda untuk mengadakan peringatan hari perang badar,
demikian pula tulisan tidak mengupas sisi sejarahnya, karena ini bisa
didapatkan dengan merujuk buku-buku sejarah. Tulisan ini hanya mencoba mengajak
pembaca untuk merenungi ibrah dan pelajaran berharga di balik serpihan-serpihan
sejarah perang Badar.
Latar Belakang Pertempuran
Suatu ketika terdengarlah kabar di kalangan kaum muslimin
Madinah bahwa Abu Sufyan beserta kafilah dagangnya, hendak berangkat pulang
dari Syam menuju Mekkah. Jalan mudah dan terdekat untuk perjalanan Syam menuju
Mekkah harus melewati Madinah.
Kesempatan berharga ini dimanfaatkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabat untuk merampas barang dagangan mereka.
Harta mereka menjadi halal bagi kaum muslimin. Mengapa demikian? Bukankah harta
dan darah orang kafir yang tidak bersalah itu haram hukumnya?
Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan harta Orang
kafir Quraisy tersebut halal bagi para shahabat:
1.
Orang-orang kafir Quraisy statusnya
adalah kafir harbi, yaitu orang kafir yang secara terang-terangan memerangi
kaum muslimin, mengusir kaum muslimin dari tanah kelahiran mereka di Mekah, dan
melarang kaum muslimin untuk memanfaatkan harta mereka sendiri.
2.
Tidak ada perjanjian damai antara kaum
muslimin dan orang kafir Quraisy yang memerangi kaum muslimin.
Dengan alasan inilah, mereka berhak untuk menarik kembali
harta yang telah mereka tinggal dan merampas harta orang musyrik.
Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berangkat bersama tiga ratus sekian belas shahabat. Para ahli sejarah berbeda
pendapat dalam menentukan jumlah pasukan kaum muslimin di perang badar. Ada
yang mengatakan 313, 317, dan beberapa pendapat lainnya. Oleh karena itu, tidak
selayaknya kita berlebih-lebihan dalam menyikapi angka ini, sehingga dijadikan
sebagai angka idola atau angka keramat, semacam yang dilakukan oleh LDII yang
menjadikan angka 313 sebagai angka keramat organisasi mereka dengan anggapan
bahwa itu adalah jumlah pasukan Badar.
Di antara tiga ratus belasan pasukan itu, ada dua
penunggang kuda dan 70 onta yang mereka tunggangi bergantian. 70 orang di
kalangan Muhajirin dan sisanya dari Anshar.
Sementara di pihak lain, orang kafir Quraisy ketika
mendengar kabar bahwa kafilah dagang Abu Sufyan meminta bantuan, dengan
sekonyong-konyong mereka menyiapkan kekuatan mereka sebanyak 1000 personil, 600
baju besi, 100 kuda, dan 700 onta serta dengan persenjataan lengkap. Berangkat
dengan penuh kesombongan dan pamer kekuatan di bawah pimpinan Abu Jahal.
Allah Berkehendak Lain
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para
shahabat keluar dari Madinah dengan harapan dapat menghadang kafilah dagang Abu
Sufyan. Merampas harta mereka sebagai ganti rugi terhadap harta yang
ditinggalkan kaum muhajirin di Makah. Meskipun demikian, mereka merasa cemas
bisa jadi yang mereka temui justru pasukan perang.
Oleh karena itu, persenjataan yang dibawa para shahabat
tidaklah selengkap persenjataan ketika perang. Namun, Allah berkehendak lain.
Allah mentakdirkan agar pasukan tauhid yang kecil ini bertemu dengan pasukan
kesyirikan. Allah hendak menunjukkan kehebatan agamanya, merendahkan kesyirikan.
Allah gambarkan kisah mereka dalam firmanNya:
وَإِذْ يَعِدُكُمُ اللَّهُ إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ أَنَّهَا لَكُمْ
وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيْرَ ذَاتِ الشَّوْكَةِ تَكُونُ لَكُمْ وَيُرِيدُ اللَّهُ
أَنْ يُحِقَّ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَيَقْطَعَ دَابِرَ الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Allah
menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi)
adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan
senjata-lah yang untukmu (kamu hadapi, pent. Yaitu kafilah dagang), dan Allah
menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan
orang-orang kafir.” (Qs. Al Anfal: 7)
Demikianlah gambaran orang shaleh. Harapan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabat tidak terwujud. Mereka menginginkan
harta kafilah dagang, tetapi yang mereka dapatkan justru pasukan siap perang.
Kenyataan ini memberikan pelajaran penting dalam masalah aqidah bahwa tidak
semua yang dikehendaki orang shaleh selalu dikabulkan oleh Allah.
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, tidak ada yang mampu
mengendalikan keinginan Allah. Sehebat apapun keshalehan seseorang, setinggi
apapun tingkat kiyai seseorang sama sekali tidak mampu mengubah apa yang Allah
kehendaki.
Ketika Abu Sufyan berhasil meloloskan diri dari kejaran
pasukan kaum muslimin, dia langsung mengirimkan surat kepada pasukan Mekkah
tentang kabar dirinya dan meminta agar pasukan Mekkah kembali pulang. Namun,
dengan sombongnya, gembong komplotan pasukan kesyirikan enggan menerima tawaran
ini. Dia justru mengatakan,
“Demi Allah, kita tidak akan kembali sampai kita tiba di
Badar. Kita akan tinggal di sana tiga hari, menyembelih onta, pesta makan,
minum khamr, mendengarkan dendang lagu biduwanita sampai masyarakat jazirah
arab mengetahui kita dan senantiasa takut kepada kita…”
Keangkuhan mereka ini Allah gambarkan dalam FirmanNya,
وَلَا تَكُونُوا
كَالَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَرًا وَرِئَاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّونَ
عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَاللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
Dan janganlah kamu menjadi seperti
orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud
riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu)
Allah meliputi apa yang mereka kerjakan…” (Qs. Al-Anfal: 47)
Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu di
bawah pengaturan Allah, karena ditutupi dengan kesombongan mereka. Mereka tidak
sadar bahwa Allah kuasa membalik keadaan mereka. Itulah gambaran pasukan setan,
sangat jauh dari kerendahan hati dan tawakal kepada Yang Kuasa.
Kesetiaan yang Tiada Tandingnya
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa
yakin bahwa yang nantinya akan ditemui adalah pasukan perang dan bukan kafilah
dagang, beliau mulai cemas dan khawatir terhadap keteguhan dan semangat
shahabat. Beliau sadar bahwa pasukan yang akan beliau hadapi kekuatannya jauh
lebih besar dari pada kekuatan pasukan yanng beliau pimpin.
Oleh karena itu, tidak heran jika ada sebagian shahabat
yang merasa berat dengan keberangkatan pasukan menuju Badar. Allah gambarkan
kondisi mereka dalam firmanNya,
كَمَا أَخْرَجَكَ
رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
لَكَارِهُونَ
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi
dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang
yang beriman itu tidak menyukainya.” (Qs. Al Anfal: 5)
Sementara itu, para komandan pasukan Muhajirin, seperti Abu
Bakr dan Umar bin Al Khattab sama sekali tidak mengendor, dan lebih baik maju
terus. Namun, ini belum dianggap cukup oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Beliau masih menginginkan bukti konkret kesetiaan dari
shahabat yang lain. Akhirnya, untuk menghilangkan kecemasan itu, beliau
berunding dengan para shahabat, meminta kepastian sikap mereka untuk menentukan
dua pilihan: (1) tetap melanjutkan perang apapun kondisinya, ataukah (2)
kembali ke madinah.
Majulah Al Miqdad bin ‘Amr seraya berkata, “Wahai
Rasulullah, majulah terus sesuai apa yang diperintahkan Allah kepada anda. Kami
akan bersama anda. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan sebagaimana perkataan
Bani Israil kepada Musa: ‘Pergi saja kamu, wahai Musa bersama Rab-mu (Allah)
berperanglah kalian berdua, kami biar duduk menanti di sini saja. [1]‘”
Kemudian Al Miqdad melanjutkan: “Tetapi pegilah anda
bersama Rab anda (Allah), lalu berperanglah kalian berdua, dan kami akan ikut
berperang bersama kalian berdua. Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran,
andai anda pergi membawa kami ke dasar sumur yang gelap, kamipun siap bertempur
bersama engkau hingga engkau bisa mencapai tempat itu.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan komentar yang baik terhadap perkataan Al Miqdad dan mendo’akan
kebaikan untuknya. Selanjutnya, majulah Sa’ad bin Muadz radhiyallahu ‘anhu,
komandan pasukan kaum anshar.
Sa’ad mengatakan, “Kami telah beriman kepada Anda. Kami
telah membenarkan Anda. Andaikan Anda bersama kami terhalang lautan lalu Anda
terjun ke dalam lautan itu, kami pun akan terjun bersama Anda….”
Sa’ad radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan, “Boleh
jadi Anda khawatir, jangan-jangan kaum Anshar tidak mau menolong Anda kecuali
di perkampungan mereka (Madinah). Sesungguhnya aku berbicara dan memberi
jawaban atas nama orang-orang anshar. Maka dari itu, majulah seperti yang Anda
kehendaki….”
Di Sudut Malam yang Menyentuh Jiwa…
Pada malam itu, malam jum’at 17 Ramadhan 2 H, Nabi Allah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih banyak mendirikan shalat di
dekat pepohonan. Sementara Allah menurunkan rasa kantuk kepada kaum muslimin
sebagai penenang bagi mereka agar bisa beristirahat. Sedangkan kaum musyrikin
di pihak lain dalam keadaan cemas. Allah menurunkan rasa takut kepada mereka.
Adapun Beliau senantiasa memanjatkan do’a kepada Allah.
Memohon pertolongan dan bantuan dari-Nya. Di antara do’a yang dibaca Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berulang-ulang adalah,
“…Ya Allah, jika Engkau berkehendak
(orang kafir menang), Engkau tidak akan disembah. Ya Allah, jika pasukan yang
kecil ini Engkau binasakan pada hari ini, Engkau tidak akan disembah…..”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulang
do’a ini sampai selendang beliau terjatuh karena lamanya berdo’a, kemudian
datanglah Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu memakaikan selendang
beliau yang terjatuh sambil memeluk beliau… “Cukup-cukup, wahai Rasulullah…”
Tentang kisah ini, diabadikan Allah dalam FirmanNya,
øÎ) ÓÇrqã y7/u n<Î) Ïps3Í´¯»n=yJø9$# ÎoTr& öNä3yètB (#qçGÎm;sWsù úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä 4 Å+ø9é'y Îû É>qè=è% úïÏ%©!$# (#rãxÿx. |=ôã9$# (#qç/ÎôÑ$$sù s-öqsù É-$oYôãF{$# (#qç/ÎôÑ$#ur öNåk÷]ÏB ¨@à2 5b$uZt/ ÇÊËÈ Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#q%!$x© ©!$# ¼ã&s!qßuur 4 `tBur È,Ï%$t±ç ©!$# ¼ã&s!qßuur cÎ*sù ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇÊÌÈ
“Ingatlah), ketika
Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka
teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman”. Kelak akan Aku jatuhkan
rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka
dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu
adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan
barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras
siksaan-Nya.” (Qs. Al Anfal: 12-13)
Bukti kemukjizatan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
Seusai beliau menyiapkan barisan pasukan shahabatnya,
kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan di tempat pertempuran
dua pasukan. Kemudian beliau berisyarat, “Ini tempat terbunuhnya fulan, itu
tempat matinya fulan, sana tempat terbunuhnya fulan….”
Tidak satupun orang kafir yang beliau sebut namanya,
kecuali meninggal tepat di tempat yang diisyaratkan beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Bara Peperangan Mulai Menyala
Yang pertama kali menyulut peperangan adalah Al Aswad Al
Makhzumi, seorang yang berperangai kasar dan akhlaknya buruk. Dia keluar dari
barisan orang kafir sambil menantang. Kedatangannya langsung disambut oleh
Hamzah bin Abdul Muthallib radhiyallahu ‘anhu.
Setelah saling berhadapan, Hamzah radhiyallahu ‘anhu
langsung menyabet pedangnya hingga kaki Al Aswad Al Makhzumi putus. Setelah
itu, Al Aswad merangkak ke kolam dan tercebur di dalamnya. Kemudian Hamzah
menyabetkan sekali lagi ketika dia berada di dalam kolam. Inilah korban Badar
pertama kali yang menyulut peperangan.
Selanjutnya, muncul tiga penunggang kuda handal dari kaum
Musyrikin. Ketiganya berasal dari satu keluarga. Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin
Rabi’ah, dan anaknya Al Walid bin Utbah. Kedatangan mereka ditanggapi 3 pemuda
Anshar, yaitu Auf bin Harits, Mu’awwidz bin Harits, dan Abdullah bin Rawahah.
Namun, ketiga orang kafir tersebut menolak adu tanding dengan tiga orang Anshar
dan mereka meminta orang terpandang di kalangan Muhajirin.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan Ali, Hamzah, dan Ubaidah bin Harits untuk maju. Ubaidah
berhadapan dengan Al Walid, Ali berhadapan dengan Syaibah, dan Hamzah
berhadapan dengan Utbah. Bagi Ali dan Hamzah, menghadapi musuhnya tidak ada
kesulitan.
Lain halnya dengan Ubaidah. Masing-masing saling
melancarkan serangan, hingga masing-masing terluka. Kemudian lawan Ubaidah
dibunuh oleh Ali radhiyallahu ‘anhu. Atas peritiwa ini, Allah abadikan
dalam firmanNya,
هَذَانِ خَصْمَانِ
اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ
“Inilah dua golongan (golongan mukmin
dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Rabb
mereka (Allah)…” (Qs. Al Hajj: 19)
Selanjutnya, bertemulah dua pasukan. Pertempuran-pun
terjadi antara pembela Tauhid dan pembela syirik. Mereka berperang karena
perbedaan prinsip beragama, bukan karena rebutan dunia. Sementara itu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berada di tenda beliau, memberikan komando terhadap
pasukan.
Abu Bakar dan Sa’ad bin Muadz radhiyallahu ‘anhuma bertugas
menjaga beliau. Tidak pernah putus, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
senantiasa melantunkan do’a dan memohon bantuan dan pertolongan kepada Allah.
Terkadang beliau keluar tenda dan mengatakan, “Pasukan (Quraisy) akan
dikalahkan dan ditekuk mundur…”
Beliau juga senantiasa memberi motivasi kepada para
shahabat untuk berjuang. Beliau bersabda, “Demi Allah, tidaklah seseorang
memerangi mereka pada hari ini, kemudian dia terbunuh dengan sabar dan
mengharap pahala serta terus maju dan pantang mundur, pasti Allah akan
memasukkannya ke dalam surga.”
Tiba-tiba berdirilah Umair bin Al Himam Al Anshari sambil
membawa beberapa kurma untuk dimakan, beliau bertanya, “Wahai Rasulullah,
apakah surga lebarnya selebar langit dan bumi?” Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab, “Ya.”
Kemudian Umair mengatakan: “Bakh…Bakh… (ungkapan kaget).
Wahai Rasulullah, antara diriku dan aku masuk surga adalah ketika mereka
membunuhku. Demi Allah, andaikan saya hidup harus makan kurma dulu, sungguh ini
adalah usia yang terlalu panjang. Kemudian beliau melemparkan kurmanya, dan
terjun ke medan perang sampai terbunuh.”
Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke barisan
musuh. Sehingga tidak ada satu pun orang kafir kecuali matanya penuh dengan
pasir. Mereka pun sibuk dengan matanya sendiri-sendiri, sebagai tanda
kemukjizatan Beliau atas kehendak Dzat Penguasa alam semesta.
Kuatnya Pengaruh Teman Dekat Dalam
Hidup
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk
membunuh Abul Bakhtari. Karena ketika di Mekkah, dia sering melindungi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan yang memiliki inisiatif untuk menggugurkan boikot
pada Bani Hasyim.
Suatu ketika Al Mujadzar bin Ziyad bertemu dengannya di
tengah pertempuran. Ketika itu Abul Bakhtari bersama rekannya. Maka, Al
Mujadzar mengatakan, “Wahai Abul Bakhtari, sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk membunuhmu.”
“Lalu bagaimana dengan temanku ini?”, tanya Abul Bakhtari “Demi Allah, kami tidak akan membiarkan temanmu.” Jawab Al Mujadzar.
Akhirnya mereka berdua melancarkan serangan, sehingga
dengan terpaksa Al Mujadzar membunuh Abul Bakhtari.
Kemenangan Bagi Kaum Muslimin
Singkat cerita, pasukan musyrikin terkalahkan dan terpukul
mundur. Pasukan kaum muslimin berhasil membunuh dan menangkap beberapa orang di
antara mereka. Ada tujuh puluh orang kafir terbunuh dan tujuh puluh yang
dijadikan tawanan.
Di antara 70 yang terbunuh ada 24 pemimpin kaum Musyrikin
Quraisy yang diseret dan dimasukkan ke dalam lubang-lubang di Badar. Termasuk
diantara 24 orang tersebut adalah Abu Jahal, Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin
Rabi’ah dan anaknya, Al Walid bin Utbah.
Demikianlah perang badar, pasukan kecil mampu mengalahkan
pasukan yang lebih besar dengan izin Allah. Allah berfirman,
كَمْ مِنْ فِئَةٍ
قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ
الصَّابِرِينَ
“…Betapa banyak golongan yang sedikit
dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar.” (Qs. Al Baqarah: 249)
Mereka…
Mereka menang bukan karena kekuatan senjata
Mereka menang bukan karena kekuatan senjata
Mereka menang bukan karena kekuatan
jumlah personilnya
Mereka MENANG karena berperang dalam
rangka menegakkan kalimat Allah dan membela agamaNya…
Allahu Al Musta’an…
[1] Perkataan Al Miqdad radhiyallahu ‘anhu ini merupakan cuplikan dari firman Allah surat Al Maidah: 24
0 comments:
Posting Komentar