Salah satu nilai
di dalam dunia modern dewasa ini yang sering menyesatkan seorang muslim ialah
anggapan bahwa suatu kebaikan ditentukan oleh ramai atau sedikitnya orang yang
mendukung nilai tersebut. Jika nilai tersebut sudah populer di tengah
masyarakat, maka orang mengatakan bahwa nilai tersebut bersifat positif. Nilai
tersebut akan didukung dan disebarluaskan. Allah SWT
Berfirman :
وَإِنْ تُطِعْ
أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِيُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ
إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْهُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ
يَضِلُّ عَنْسَبِيلِهِ وَهُوَ
أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ
”Dan jika kamu
menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).
Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS Al-An’aam ayat 116-117)
Alloh menunjukkan
kepada Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wassalam para nabi dan rasul sebelum
beliau beserta pengikutnya. Ada nabi yang hanya memiliki beberapa orang
pengikut, dan bahkan ada yang tidak mempunyai seorang pengikut pun. Dan tatkala
kita menengok sejarah nabi Nuh, berapa lama beliau berdakwah?
Yaitu selama
sembilan ratus lima puluh tahun. Berapakah jumlah pengikut beliau yang berhasil
didakwahi yang akhirnya ikut dalam bahtera dan diselamatkan dari adzab Alloh?
Tidaklah banyak, hanya sedikit jumlahnya. Mereka para rasul adalah orang-orang
yang sukses dalam berdakwah, walaupun jika dilihat dari jumlah pengikut amatlah
sedikit.
Nabi shollallahu
’alaih wa sallam bahkan pernah menegur keras para sahabat ketika beliau dapati
mereka melakukan bentuk penghormatan berlebihan kepada diri Rasulullah.
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ
سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُطْرُونِي كَمَا
أَطْرَتْ النَّصَارَى
ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
Ibnu Abbas
mendengar Umar berkata dari atas mimbar: ”Aku mendengar Rasulullah bersabda:
“Janganlah kalian mengkultuskanku sebagaimana kaum Nasrani mengkultuskan Isa
putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba. Maka ucapkanlah: hamba
Allah dan RasulNya.” (HR Bukhary 3189)
Banyak sekali
nilai-nilai mungkar menurut Islam yang sudah menyebar di tengah masyarakat.
Sebaliknya, sedikit sekali nilai-nilai ma’ruf menurut Islam yang sudah difahami
dan diterima masyarakat.
Misalnya, soal
hubungan antara pria-wanita bukan muhrim. Di tengah masyarakat telah umum
diterima bahwa tidak ada masalah jika dua orang pria-wanita bukan muhrim
bepergian berduaan alias berpacaran. Karena hal ini telah dianggap biasa,
akhirnya banyak orangtua muslim
yang memandang biasa jika anak gadisnya bepergian berduaan dengan lelaki bukan
muhrimnya.
Para politisi
mengkampanyekan dirinya tanpa rasa malu dan sikap rendah hati, Saudaraku, di
dalam Islam tidak dikenal adanya kebiasaan memuji diri sendiri. Bahkan seorang
sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq langsung berlindung kepada Allah ketika ada
orang-orang menyanjungnya.
اللََّهُمَّ
اغْفِرْلِي مِمَّا يَقُولُون وَ اجْعَلْنِي خَيرًا مِمَّا يَظُنُّون
“Ya Allah, aku
mohon ampun (kepadaMu) atas ucapan (sanjungan) mereka dan jadikanlah aku lebih
baik dari apa yang mereka sangka.”
Jangankan seorang
muslim memuji dirinya sendiri. Sedangkan jika orang lain memuji dirinya saja
sepatutnya ia langsung memohon ampun kepada Allah, sebab orang-orang beriman
hanya pantas memuji Allah semata.
Segenap kemuliaan,
puja dan puji, keagungan dan kebesaran hanyalah milik Allah. Allah SWT
Berfirman :
وَإِنْ تُطِعْ
أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِيُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ
إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْهُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ
يَضِلُّ عَنْسَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
”Dan jika kamu
menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).
Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS Al-An’aam ayat 116-117)
Dalam surat yang
dikirim kepada suku Najran yang beragama Nasrani, Rasulullah shollallahu ’alaih
wa sallam menyampaikan seruan sebagai berikut:
فإني أدعوكم إلى
عبادة الله من عبادة العباد
“Sesungguhnya aku
menyeru kalian kepada penghambaan Allah ta’aala semata dan meninggalkan
penghambaan sesama hamba.” (HR Al-Baihaqi 2126)
Demikianlah, Islam
datang membawa seruan abadi agar manusia hanya menghambakan diri kepada Allah
ta’aala semata. Ajaran Allah ta’aala tidak membenarkan adanya penghambaan
antara sesama hamba. Manusia tidak dibenarkan untuk menghamba kepada sesama
manusia. Pengertian menghamba kepada sesama hamba bukan hanya dalam bentuk
manusia bersujud di hadapan manusia lainnya. Tetapi pengertiannya mencakup
ketaatan mutlak kepada sesama manusia.
Fihak yang
menerima penghambaan manusia disebut ”Ilah” yang biasa diterjemahkan sebagai
”tuhan” dalam bahasa Indonesia. Sesungguhnya ”Ilah” mengandung setidaknya tiga
pengertian, yaitu: ”yang dicintai, yang dipatuhi dan yang ditakuti selain dari
Allah SWT dengan segala perintah-Nya”
Seorang Muslim
yang faham makna kalimat Subhaanallah tidak akan terjebak ke dalam anggapan
adanya fihak lain selain Allah yang pantas disucikan. Ia tahu hanya Allah
sajalah di dalam hidup ini yang tidak mengandung cacat dan kekurangan. Allah
adalah Dzat Yang Maha Sempurna.
Oleh karena itu sepanjang perjalanan sejarah dunia Allah mengutus para Nabi dan
Rasul dengan tujuan untuk menjernihkan aqidah ummat manusia. Sebab manusia
memiliki kecenderungan untuk merasa butuh mensucikan sesuatu di dalam hidupnya.
Namun sayang, kebanyakan manusia bodoh akan Ma’rifatullah (Pengenalan akan
Allah) sehingga mereka akhirnya menjadikan banyak fihak selain Allah sebagai
fihak yang disucikan sedemikian rupa sebagaimana semestinya mereka mensucikan
Allah Subhaanahu wa Ta’aala (Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi).
Di antara mereka
ada yang mensucikan sesama manusia yang dianggap sangat mulia. Sedemikian rupa
pensucian itu sehingga mereka memposisikan manusia yang dimuliakan itu
berlebihan alias melampaui batas. Seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi
terhadap Uzair dan kaum Nasrani terhadap Nabiyullah Isa putra Maryam
’alahis-salam.
وَقَالَتِ
الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ
اللَّهِ
ذَلِكَ قَوْلُهُمْ
بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا
مِنْ قَبْلُ
قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
Orang-orang Yahudi
berkata: ”Uzair itu putra Allah” dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu
putra Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka
meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka;
bagaimana mereka sampai berpaling?
Hadis riwayat Abu
Bakrah ra., ia berkata:
Seorang lelaki
memuji orang lain di hadapan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam maka beliau
bersabda: “Celaka kamu! Kamu telah memenggal leher temanmu, kamu telah
memenggal leher temanmu!” Beliau mengucapkannya berulang-ulang. ”Apabila
seorang di antara kamu terpaksa harus memuji temannya, hendaklah ia berkata:
Aku mengetahui kebaikan si Fulan namun Allah lebih mengetahui keadaannya, dan
aku tidak memberikan kesaksian kepada siapa pun yang aku ketahui di hadapan
Allah karena Allah lebih mengetahui keadaannya yang sebenarnya”. (HR Muslim
5319)
Jika kita
menelusuri jejak para nabi niscaya kita dapatkan cobaaan kita lebih kecil dibandingkan
ujian yang diperoleh oleh para nabi dan Rasul tersebut berupa penentangan dan
pengingkaran dari kaumnya, belum lagi kesabaran yang luarbiasa yang mereka
miliki untuk mendakwahkan tauhid di tengah-tengah kerusakan ummatnya.
Karena itulah nabi
kita Muhammad shollallohu ‘alaihi wassalam ketika mengutus utusan beliau untuk
berdakwah ke daerah lain, selalu mewasiatkan agar tauhidlah yang pertama kali
mesti didakwahkan, sebagaimana sabda beliau kepada Mu’adz bin Jabal ketika akan
diutus ke negeri Yaman untuk berdakwah, beliau Shallallohu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya kamu
akan mendatangi satu kaum dari ahli kitab, maka hendaklah yang pertama kamu
serukan kepada mereka adalah (agar mereka) bersaksi bahwasanya tiada Tuhan yang
berhak untuk disembah melainkan Alloh.” (Diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dan
Imam Muslim), dan dalam satu riwayat dari Imam Al-Bukhari [dengan lafazh]: Agar
mereka mentauhidkan Alloh, Risalah-Nya seara utuh sebagai tujuan penciptaan
manusia untuk beribadah hanya kepada-Nya. Allah dululah yang pertama kali
dibesarkan dan ditinggikan didalam hati.
0 comments:
Posting Komentar